Jumat, 10 Juni 2016

Pengertian Teori Komunikasi Kritis, Latar belakang Teori Kritis, Pencetus Teori Kritis, Asumsi Teori Kritis, Cabang dari Teori Komunikasi Kritis

2.7 Teori Komunikasi Kritis

2.7.1 Definisi Komunikasi Kritis

Teori   yang   menggunakan   metode   reflektif   dengan   melakukan   kritik secara   terus   menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang  ada, yang cenderung tidak kondusif   bagi   pencapaian   kebebasan,   keadilan,   dan   persamaan.  Teori   kritis   kental   dengan pembelaan terhadap kalangan lemah.
Tujuan dari teori kritis?
Menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Inti dari teori ini adalah kepercayaan bahwa masyarakat merupakan wujud dari konsensus dan mengutamakan keseimbangan.
Meskipun terdapat beberapa macam ilmu sosial kritis, menurut Sendjaja (1994:392) semuanya memiliki tiga asumsi dasar yang sama, yaitu:
Menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Yaitu bahwa ilmuwan kritis menganggap perlu untuk memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan   kritis   bertujuan   untuk   menginterpretasikan   dan   karenanya   memahami bagaimana berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas.
Pendekatan  ini   mengkaji   kondisi-kondisi  sosial   dalam   usahanya   untuk   mengungkap struktur-struktur     yang   seringkali   tersembunyi.     Kebanyakan   teori-teori   kritis mengajarkan   bahwa   pengetahuan   adalah   kekuatan   untuk   memahami   bagaimana seseorang ditindas sehingga orang dapat mengambil tindakan untuk merubah kekuatan penindas.
Pendekatan kritis secara sadar berupaya menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hidup kita.
Beberapa karakteristik aliran kritik dalam hubungannya dengan ilmu komunikas :
Aliran  Kritis   lebih  menekankan   pada  unsur-unsur   filosofis   komunikasi.  Pertanyaan-pertanyaan yang sering dikemukakan oleh kaum kritis adalah siapa yang mengontrol arus komunikasi?  siapa yang   diuntungkan   oleh   arus   dan   struktur  komunikasi   yang  ada? ideologi apa yang ada dibalik media?.
Aliran Kritis melihat struktur sosial sebagai konteks yang sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi manusia. Bagi aliran ini, suatu penelitian komunikasi manusia,   khususnya   komunikasi   massa   yang   mengabaikan   struktur   sosial   sebagai variabel berpengaruh, dikatakan bahwa penelitian tersebut a-historis dan a-kritis.
Aliran   Kritis   lebih   memusatkan   perhatiannya   pada   siapa   yang   mengendalikan komunikasi. Aliran ini beranggapan bahwa komunikasi hanya dimanfaatkan oleh kelas yang berkuasa, baik untuk mempertahankan kekuasaannya maupun untuk merepresif pihak-pihak yang menentangnya.
Aliran Kritis sangat yakin dengan anggapan bahwa teori komunikasi manusia, khususnya teori-teori komunikasi massa, tidak mungkin akan dapat menjelaskan realitas secara utuh dan kritis apabila ia mengabaikan teori-teori tentang masyarakat. Oleh karena itu, teori komunikasi massa harus selalu berdampingan dengan teori-teori sosial.
Pada dasarnya, esensi Teori Kritis adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik:
Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Ciri khas Teori Kritis tidak lain ialah bahwa teori ini tidak sama dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Singkatnya, pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Selain itu, tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah.
Pada dasarnya, esensi Teori Kritis adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik.

2.7.2 Asumsi Teori Komunikasi Kritis

Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :
Kritis terhadap masyarakat. Teori Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat yang rapuh ini harus diubah.
Teori kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misalnya material-ekonomis.
Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kam kapitalis. Teori harus memilikikekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu. Teori kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.

2.7.3 Teori-teori Komunikasi Kritis; Pencetus Teori dan Latar
   Belakang Teori.

2.7.3.1 Marxism

Teori kritis telah muncul jauh setelah karya Karl Marx dan Friedrich Engels, Marxisme jelas adalah cabang yang merupakan cikal bakal lahirnya teori kritis. Marx mengajarkan bahwa alat-alat produksi dalam masyarakat menentukan sifat (kesadaran) masyarakat; sehingga dalam pandangan Marx, ekonomi adalah dasar (basis) dari semua struktur sosial.
Dalam sistem yang kapitalistis, produksi dikendalikan oleh keuntungan (profit drives production), sebuah proses yang pada akhirnya akan menindas buruh atau kelas pekerja, karena dengan ini pandangan ini pengusaha akan berusaha memaksimalisasi keuntungan dengan mengurangi biaya produksi, termasuk menggaji buruh dengan uah yang sangat rendah. Hanya ketika kelas pekerja bangkit melawan kelompok dominan (kelompok kapitalis) yang dapat mengubah sarana produksi dan pembebasan pekerja dapat dicapai.
Dalam pandangan Marx, para buruh dapat bebas hanya jika penguasaan terhadap alat-alat produksi dihapuskan, inilah yang mendasari dari pandangan utopis Marx mengenai sebuah masyarakat tanpa kelas, dimana semua alat-alat produksi dimiliki secara bersama-sama. Tujuan dari revolusi komunis di seluruh dunia, termasuk di Indonesia dengan percobaan revolusi oleh PKI, adalah terciptanya masyarakat yang tanpa kelas dan tanpa pemilikan terhadap alat-alat produksi.
Teori Marxis klasik ini lebih jauh disebut kritik ekonomi politik. Ketertarikan terhadap bahasa tetap menjadi sangat penting bagi teori kritis. Dalam Marxisme, praktek komunikasi dipandang sebagai hasil dari ketegangan (tension) antara kreativitas individu dan kendala sosial pada kreativitas itu. Pembebasan akan terjadi hanya ketika setiap orang benar-benar bebas untuk mengekspresikan diri dengan kejernihan dan akal sehat. Paradoksnya adalah, bagaimanapun, bahasa juga merupakan kendala penting dalam ekspresi individu, terutama bagi bahasa yang berasal dari kelas dominan dan telah membentuk ideologi, akan membuat kelas pekerja menjadi sulit untuk memahami situasi mereka dan menjadi penghambat dalam menemukan cara-cara untuk mencapai emansipasi Dengan kata lain, bahasa yang dominan mendefinisikan dan melanggengkan penindasan terhadap kelompok marjinal.
Inilah yang menjadi tugas dari teori kritis, yaitu bagaimana menciptakan bentuk-bentuk baru dari bahasa (diskursus) yang akan memungkinkan ideologi dari kelompok marjinal dapat mencuat kepermukaan dan dapat didengar untuk kepentingan pembebasan.
Dalam catatan Everet M. Rogers, sebagaimana dikutip Stephen W. Littlejohn dalam Theories of Human Communication, pada abad ke-20 ajaran Karl Marx telah memengaruhi hampir semua cabang   ilmu   sosial,   meliputi   sosiologi,   pilitik,   ekonomi,   sejarah,   filsafat   dan   termasuk   didalamnya ilmu komunikasi. Pengaruh Marx dalam kajian komunikasi terutama bersumber dari analisisnya mengenai industri kapitalis dimana terjadi pertentangan antara kaum proletar dan buruh.
Maka, jika diandaikan dalam komunikasi dapat digambarkan bahwa media massa sebagai industri informasi yang hanya dikuasai oleh segelintir orang (pengusaha media massa) yang memiliki kepentingan ideologis, mengeksploitasi para pekerja media untuk menghasilkan informasi sesuai dengan ideologi pemiliknya. Maka para pekerja media kemudian akan terasing karena ia tidak memiliki atau hanya mendapatkan sedikit keuntungan dari industri tersebut. Mereka melakukan eksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk mempertahankan kedudukannya, mereka melarang adanya ideologi lain yang akan mengganggu kepentingannya.

2.7.3.2 Frankfurt School

Frankfurt   School   merupakan   istilah   populer   untuk   menyebut   kelompok   cendekiawan   yang terhimpun dalam Frankfurt Institute of Sosial Reaseach yang berpusat di Universitas Frankfurt Jerman. Lembaga ini didirikan oleh Felix J. Weil pada tanggal 3 Februari 1923. Di antara mereka yang terkenal adalah Max Hokheimer, Theodore Adorno, Herbert Marcuse dan yang paling kontemporer adalah Habermas. Mazhab Frankfurt menolak pandangan Marxisme yang terlalu menekankan pada determinisme ekonomi. Karena pandangan determinisme ekonomi berangkat dari asumsi pemikiran positivistik yang menganggap bahwa metode ilmu alam dan prinsip ilmu alam dapat diterapkan dengan tepat pada bidang ilmu  pengetahuan sosial  budaya. 
Mereka  memandang ilmu pengetahuan  sosial budaya tidak bisa disamakan dengan ilmu alam, karena alam secara mendasar sangat berbeda dengan   manusia   dan   kegiatannya.   Dalam   pandangan   Habermas   paradigma   positivisme   itu mengabaikan peran manusia sebagai aktor yang memiliki karakteristik khas dan unik tidak seperti robot. Teori yang berusaha dibangun oleh Mazhab Frankfurt ingin melepaskan kehidupan dari model   cara   berpikir  positivisme   (rasionalitas   instrumental)  dimana  terjadi   penjajahan  dunia kehidupan (labenswelt) oleh sistem.
Mereka berkeyakinan bahwa ramalan Marx tentang akan hancurnya sistem kapitalisme tidak akan terbukti. Karena kapitalisme telah mengkonsolidasikan dan mengembangkan mekanisme efektif seperti pemenuhan hak-hak pekerja secara lebih proporsional, sehingga revolusi sosial yang akan menghancurkan kapitalisme tidak akan terjadi. Bentuk penindasannya pun tidak dengan cara fisik melainkan sangat halus sehingga kaum pekerja menganggapnya sebagai sesuatu yang normal.
Atas dasar pertimbangan itu maka para eksponen mazhab Frankfurt mengalihkan perhatiannya dari analisis ekonomi kapitalistik ke kritik atas penggunaan rasio intrumental pada masyarakat modern.
Adorno dan Hokheimer mengatakan dalam Dialectical Imagination, bahwa budaya industri telah membuat manusia tereifikasi. Manusia menjadi seperti robot yang dideterminasi oleh iklan yang ditampilkan oleh media massa. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih lagi karena semuanya telah ditentukan, distandarkan oleh budaya industri. Kostumer tidak lagi menjadi raja, tidak lagi menjadi subjek, tapi menjadi budak dan objek.
Jürgen Habermas beralih ke paradigma komunikasi dengan mengintegrasikan linguistic-analysis dalam   Teori   Kritis.   Komunikasi  adalah  titik   tolak   fundamental  Habermas   untuk   mengatasi kemandekan Teori Kritis para pendahulunya. Kegagalan para pendahulunya adalah karena teori kritis yang dilandasi rasio kritis akhirnya berubah menjadi mitos atau ideologi baru. Emansipasi yang diperjuangkan mereka hanya menjadi mitos yang tak kunjung selesai.
Dalam The Theory of Communicative Action, Habermas menyebut empat macam klaim untuk mencapai consensus dalam komunikasi:
Klaim kebenaran (claim of truth) yaitu ketika kita sepakat kepada dunia alamiah dan objektif. 
Klaim ketepatan (claim of rigtness), kala kita sepakat pada pelaksanaan norma-norma dalam kehidupan sosial.
Klaim kejujuran (claim of sincerity) yaitu kalau kita sepakat tentang kesesuaian antara bathiniah dengan ekspresi seseorang.
Klaim komprehensibilitas (claim of comprehensibility) jika kita sepakat dan  mampumenjelaskan ketiga klaim sebelumnya.
Komunikasi yang efektif melibatkan keempatklaim tersebut karena merupakan standar kompetensi komunikatif.
  “……maka untuk mencapai konsensus segala persoalan harus didialogkan dalam ruang yang bebas dari dominasi. Dialog dalam hal ini mengandaikan adanya kedudukan yang setara. Karena itu Habermas menekankan pentingnya etika dalam komunikasi seperti yang disebut di atas. Etika tersebut yaitu kondisi komunikasi yang menjamin sifat umum norma-norma yang dapat diterima dan   menjamin   otonomi  individu  melalui  kemampuan  emansipatoris   sehingga   menghasilkan pembentukan kehendak bersama lewat perbincangan.”
Terkait dengan dialog tersebut, Habermas memandang, salah satu mediumnya yaitu media massa. Media massa sebagai tempat untuk mengungkapkan pendapat dalam public sphere. Karenanya Habermas   mengandaikan   media   massa   mestinya   menjadi   ruang   yang   bebas   dari   dominasi sehingga segala macam pemikiran dapat didialogkan tanpa ada paksaan. Namun, sepertinya idealisasi Habermas terhadap media massa sangat utopis dalam masyarakat kapitalisme lanjut sekarang. Apalagi media massa umumnya cenderung berada dalam genggaman para pemilik modal yang lebih menekankan pada keuntungan dari budaya yang ditampilkannya.

2.7.3.3 Teori Feminist

Teori feminist merupakan perpanjangan dari feminisme ke teori, atau filsafat wacana, bertujuan untuk   memahami   sifat   ketidaksetaraan   gender.   Itu   menguji   perempuan   peran   sosial   dan pengalaman hidup, dan politik feminis dalam berbagai bidang, seperti antropologi dan sosiologi, psikoanalisis, ekonomi, kritik sastra, dan filsafat Berawal dari Edwin & Shirley Ardener, antropologis sosial Oxford University, yang melihat bahwa ternyata para antropolog melakukan penelitiannya dengan lebih banyak berbicara dan bertanya   kepada   kalangan   laki-laki   dewasa   pada   suatu   budaya   tertentu   untuk   kemudian mencatatnya dalam etnografi sebagai gambaran budaya secara keseluruhan.
Ardener awalnya berasumsi bahwa kurangnya perhatian terhadap pengalaman perempuan adalah sebuah masalah gender yang unik pada antropologi sosial. Tetapi hal ini kemudian ditelusuri lebih   lanjut   oleh   rekan   kerjanya,   Shirley   Ardener,   yang   menyadari   bahwa kebungkaman kelompok yang kurang kekuasaan menimpa kelompok-kelompok yang menempati tempat yang paling akhir dari tingkatan masyarakat. Orang-orang yang hanya memiliki kekuasaan yang rendah bermasalah dengan persoalan menyuarakan persepsi-persepsi mereka. Teori   kelompok  yang  dibungkam   ini   lalu  dikembangkan   secara  lebih   lengkap   oleh   Cheris Kramarae.  Kramarae adalah profesor speech communication dan sosiolog di Universitas Illinois. Dia juga profesor tamu di Pusat Studi Perempuan (Center for the Study of Women) di Universitas Oregon,   dan   baru-baru   ini   sebagai   dekan   di   Universitas   Perempuan   Internasional   (The International Woman’s University) di Jerman. Dia memulai karier penelitiannya pada tahun 1974 ketika dia memimpin sebuah studi sistematik mengenai cara-cara perempuan dilukiskan dalam kartun. Kramarae   (1981)   merancang   tiga   asumsi   yang   berpusat   pada   sajian   feminisnya   dari   teori kelompok yang dibungkam, yaitu,
1. Perempuan merasakan dunia yang berbeda dari laki-laki karena perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman yang sangat berbeda. Pengalaman yang berbeda ini berakar pada divisi kerja masyarakat.
2. Karena laki-laki merupakan kelompok yang dominan di masyarakat, sistem persepsi mereka juga dominan. Dominasi ini menghalangi kebebasan ekspresi dari dunia model alternatif perempuan.
3. Sehingga,   agar   berpartisipasi   dalam   masyarakat,   perempuan   harus   mentransformasi modelnya dalam term sistem ekspresi yang dominan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar