Teori Gender
Gender merupakan bangunan sosial dan kultural
yang pada akhirnya membedakan antara karakteristik maskulin dan feminime (Deaux
dan Kite,1987; Thomson dan Priestley, 1996). Maskulin dan feminime bersifat
relatif, tergantung pada konteks sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.
Konsep gender muncul karena para ilmuwan sosial melihat bahwa subordinasi
perempuan merupakan hal yang umum dan berjalan bertahun tahun dengan keuntungan
di pihak laki-laki sehingga nyaris menjadi sebuah ideologi (Davis, 1991; Arber
dan Gilbert 1992).
Ideologi gender merupakan ideologi yang
mengkotak-kotakan peran dan posisi ideal perempuan di dalam rumah tangga dan
masyarakat. Peran ideal inilah yang akhirnya menjadi sesuatu yang baku dan
stereotip (Sadli 1982; Deaux dan Kite, 1987: Davis, 1991; Sims, 1993; Elam
1994; Achmad, 1995). Ideologi gender seringkali memojokan perempuan ke dalam
sifat feminime, karakteristik kepantasan yang dianggap sesuai dengan
keperempuanannya. Dampaknya ialah segala sesuatu yang sejalan dengan ideologi
gender mendatangkan perasaan aman bagi sebagian terbesar laki-laki dan sebagian
kecil perempuan. Karakteristik kepantasan yang berlaku di dalam masyarakat, dan
yang semakin baku ini berkaitan erat dengan kebudayaan setiap daerah karena
gender yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat
yang bersangkutan.
Gender dapat berlangsung di dalam masyarakat
karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (gender belief system)(Deaux dan Kite, 1987). Sistem kepercayaan
gender ini didasarkan kepada sejumlah kepercayaan dan pendapat tentang
laki-laki yang maskulin,dan perempuan yng feminime. Sistem ini mencakup sikap
terhadap peran dan perilaku yang baku dan sesuai bagi laki-laki dan perempuan.
Pola baku inilah yang akhirnya membentuk suatu strereotip, suatu
pengkotak-kotakan laki-laki dan perempuan. Deaux dan Kite 1987menyatakan bahwa
sistem kepercayaan gender mencakup elemen deskriptif, yaitu kepercayaan tentang
bagaimana “sebenernya” laki-laki dan perempuan, serta bagaimana “seharusnya”
laki-laki dan petrempuan bersikap.
Selanjutnya Deaux dan Kite 1987 juga
menunjukan bahwa setiap masyarakat memiliki citra yang jelas tentang bgaimana
“seharusnya” laki-laki dan perempuan. Suatu penelitian yang dilakukan oleh
Williams dan Best (yang di kutip oleh
Deaux dan Kite) di 30 negara menunjukan adanya kesamaan pandangan tentang
atribut laki-laki dan perempuan. Penelitian ini membuktukan bahwa meskipun
gender tidak bersifat umum (universal), laki dipandang lebih kuat dan aktif,
mempunyai keinginan yang besar untuk mencapai sesuatu, memiliki dominasi,
otonomi dan agresi. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah
dan pasif. Mereka bersifat mengalah dan afiliatif serta lebih memperhatikan
lingkungan.
Bedasarkan uraian di atas dapat dikatakan
bahwa sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan asumsi yang
kebenarannya dapat diterima sebagian saja karena kepercayaan orang dalam suatu
masyarakat tidak selalu dapat menunjukan kenyataan yang akurat dan yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan mengandung kesalahan
interprestasi dan/ pandangan yang bias (biased preception). Adalah benar bahwa
beberapa aspek strereotip gender dan sistem kepercayaan masyarakat didasarkan
pada kenyataan yang dialami atau yang sesungguhnya terjadi di dalam masyarakat.
Namun, tidak semua aspek yang diberi label maskulin untuk laki-laki, dan label
feminim untuk perempuan dapat diterima dan berlaku untuk masyarakat di
Indonesia khususnya di Yogyakarta, dan terlebih lagi di lingkungan PNS.
Sumber :
Partini. 2013. Bias Gender dalam Birokrasi.
Tiara Wacana, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar