Minggu, 03 April 2016

Teori Gender



Teori Gender


        Gender merupakan bangunan sosial dan kultural yang pada akhirnya membedakan antara karakteristik maskulin dan feminime (Deaux dan Kite,1987; Thomson dan Priestley, 1996). Maskulin dan feminime bersifat relatif, tergantung pada konteks sosial budaya masyarakat yang bersangkutan. Konsep gender muncul karena para ilmuwan sosial melihat bahwa subordinasi perempuan merupakan hal yang umum dan berjalan bertahun tahun dengan keuntungan di pihak laki-laki sehingga nyaris menjadi sebuah ideologi (Davis, 1991; Arber dan Gilbert 1992).
       Ideologi gender merupakan ideologi yang mengkotak-kotakan peran dan posisi ideal perempuan di dalam rumah tangga dan masyarakat. Peran ideal inilah yang akhirnya menjadi sesuatu yang baku dan stereotip (Sadli 1982; Deaux dan Kite, 1987: Davis, 1991; Sims, 1993; Elam 1994; Achmad, 1995). Ideologi gender seringkali memojokan perempuan ke dalam sifat feminime, karakteristik kepantasan yang dianggap sesuai dengan keperempuanannya. Dampaknya ialah segala sesuatu yang sejalan dengan ideologi gender mendatangkan perasaan aman bagi sebagian terbesar laki-laki dan sebagian kecil perempuan.     Karakteristik kepantasan yang berlaku di dalam masyarakat, dan yang semakin baku ini berkaitan erat dengan kebudayaan setiap daerah karena gender yang berlaku dalam suatu masyarakat ditentukan oleh pandangan masyarakat yang bersangkutan.
         Gender dapat berlangsung di dalam masyarakat karena didukung oleh sistem kepercayaan gender (gender belief system)(Deaux dan Kite, 1987). Sistem kepercayaan gender ini didasarkan kepada sejumlah kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki yang maskulin,dan perempuan yng feminime. Sistem ini mencakup sikap terhadap peran dan perilaku yang baku dan sesuai bagi laki-laki dan perempuan. Pola baku inilah yang akhirnya membentuk suatu strereotip, suatu pengkotak-kotakan laki-laki dan perempuan. Deaux dan Kite 1987menyatakan bahwa sistem kepercayaan gender mencakup elemen deskriptif, yaitu kepercayaan tentang bagaimana “sebenernya” laki-laki dan perempuan, serta bagaimana “seharusnya” laki-laki dan petrempuan bersikap.
         Selanjutnya Deaux dan Kite 1987 juga menunjukan bahwa setiap masyarakat memiliki citra yang jelas tentang bgaimana “seharusnya” laki-laki dan perempuan. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Williams dan Best  (yang di kutip oleh Deaux dan Kite) di 30 negara menunjukan adanya kesamaan pandangan tentang atribut laki-laki dan perempuan. Penelitian ini membuktukan bahwa meskipun gender tidak bersifat umum (universal), laki dipandang lebih kuat dan aktif, mempunyai keinginan yang besar untuk mencapai sesuatu, memiliki dominasi, otonomi dan agresi. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai makhluk yang lemah dan pasif. Mereka bersifat mengalah dan afiliatif serta lebih memperhatikan lingkungan.
Bedasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa sistem kepercayaan masyarakat tentang gender lebih merupakan asumsi yang kebenarannya dapat diterima sebagian saja karena kepercayaan orang dalam suatu masyarakat tidak selalu dapat menunjukan kenyataan yang akurat dan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, ada kemungkinan mengandung kesalahan interprestasi dan/ pandangan yang bias (biased preception). Adalah benar bahwa beberapa aspek strereotip gender dan sistem kepercayaan masyarakat didasarkan pada kenyataan yang dialami atau yang sesungguhnya terjadi di dalam masyarakat. Namun, tidak semua aspek yang diberi label maskulin untuk laki-laki, dan label feminim untuk perempuan dapat diterima dan berlaku untuk masyarakat di Indonesia khususnya di Yogyakarta, dan terlebih lagi di lingkungan PNS.


Sumber :

Partini. 2013. Bias Gender dalam Birokrasi.
        Tiara Wacana, Yogyakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar